Hukum Islam Tentang Muamalah


A.    PENGERTIAN MUAMALAH
Muamalah adalah bagian dari hukum islam yang berkaitan dengan hak dan harta yang muncul dari transaksi antara seseorang dengan orang lain,atau antara seseorang dengan badan hukum atau antara badan hukum dengan badan hukum yang lain (mengatur hubungan antar sesama). Contoh hukum islam yang termasuk muamalah : jual beli, sewa menyewa, perserikatan bidang pertanian, dan lain-lain. jual beli dalam bahasa Arab terdiri dari dua kata yang mengandung makna berlawanan yaitu Al Bai’ yang artinya jual dan Asy Syira’a yang artinya Beli. Menurut istilah hukum Syara, jual beli adalah penukaran harta (dalam pengertian luas) atas dasar saling rela atau tukar menukar suatu benda (barang) yang dilakukan antara dua pihak dengan kesepakatan (akad) tertentu atas dasar suka sama suka (lihat QS Az Zumar : 39, At Taubah : 103, hud : 93)


B.     ASAS-ASAS TRANSAKSI EKONOMI DALAM ISLAM

1.   Syarat-syarat transaksi dirancang dan dilaksanakan secara bebas tetapi penuh tanggung jawab, tidak menyimpang dari hukum syara’ dan adab sopan santun.

2.   Setiap transaksi dilakukan secara sukarela tanpa ada paksaan dari pihak manapun.

3.   Islam mewajibkan agar setiap transaksi dilandasi dengan niat yang baik dan ikhlas karena Allah SWT, sehingga terhindar dari segala bentuk penipuan, kecurangan, dan penyelewengan. Hadis Nabi SAW menyebutkan : “Nabi Muhammad SAW melarang jual beli yang mengandung unsur penipuan.” (H.R. Muslim)

4.   Adat kebiasaan atau ‘urf yang tidak menyimpang dari syara’ boleh digunakan untuk menentukan batasan atau kriteria dalam transaksi.\
Apabila seseorang melakukan jual beli dan tawar menawar dan tidak ada kesesuaian harga antara penjual dan pembeli, si pembeli boleh memilih akan meneruskan jual beli tersebut atau tidak. Apabila akad (kesepakatan) jual beli telah dilaksanakan dan terjadi pembayaran, kemudian salah satu dari mereka atau keduanya telah meninggalkan tempat akad, keduanya tidak boleh membatalkan jual beli yang telah disepakatinya.


C.    TRANSAKSI EKONOMI DALAM ISLAM
                                                                                                             
1.   Jual Beli
Jual beli adalah tukar menukar barang dengan barang atau barang dengan alat pembayaran dengan rukun dan syarat tertentu.

Syarat-syarat jual beli
a.       Adanya penjual dan pembeli. Syarat bagi penjual dan pembeli adalah balig, berakal  sehat, dan tidak ada unsur paksaan atau kemauan sendiri.
b.      Ada uang dan benda. Syaratnya adalah halal dan suci menurut agama islam, bermanfaat ada barang.
c.       Ada ijab dari penjual dan qabul dari pembeli. Syaratnya adalah ada mufakat, tidak disangkut pautkan dengan masalah lain, tidak ada batasan waktu.

Hukum-Hukum Jual Beli
1. Haram
Jual beli haram hukumnya jika tidak memenuhi syarat/rukun jual beli atau melakukan larangan jual beli. Misalnya menjual atau membeli sesuatu untuk maksiat.
2. Mubah
Jual beli secara umum hukumnya adalah mubah.
3. Wajib
Jual beli menjadi wajib hukumnya tergantung situasi dan kondisi, yaitu seperti menjual harta untuk membayar hutang.
4. Sunah
Anjuran seseorang untuk melakukan jual beli. Misal, menjual barangkepada kerabat atau sahabat yang sangat membutuhkan barang tersebut.



Hal-Hal Terlarang/Larangan Dalam Jual Beli
1. Membeli barang di atas harga pasaran
2. Membeli barang yang sudah dibeli atau dipesan orang lain.
3. Menjual atau membeli barang dengan cara mengecoh/menipu (bohong).
4. Menimbun barang yang dijual agar harga naik karena dibutuhkan masyarakat.
5. Menghambat orang lain mengetahui harga pasar agar membeli barangnya.
6. Menyakiti penjual atau pembeli untuk melakukan transaksi.
7. Menyembunyikan cacat barang kepada pembeli.
8. Menjual barang dengan cara kredit dengan imbalan bunga yang ditetapkan.
9. Menjual atau membeli barang haram.
10. Jual beli tujuan buruk seperti untuk merusak ketentraman umum, menyempitkan
       gerakan pasar, mencelakai para pesaing, dan lain-lain.

Perilaku atau sikap yang harus dimiliki oleh penjual

1.      Berlaku Benar (Lurus)
Berperilaku benar merupakan ruh keimanan dan ciri utama orang yang beriman. Sebaliknya, dusta merupakan perilaku orang munafik. Seorang muslim dituntut untuk berlaku benar, seperti dalam jual beli, baik dari segi promosi barang atau penetapan harganya. Oleh karena itu, salah satu karakter pedagang yang terpenting dan diridhai Allah adalah berlaku benar.
2.      Menepati Amanat
amanat adalah mengembalikan hak apa saja kepada pemiliknya. Orang yang tidak melaksanakan amanat dalam islam sangat dicela.
3.      Jujur
Kejujuran merupakan salah satu modal yang sangat penting dalam jual beli karena kejujuran akan menghindarkan diri dari hal-hal yang dapat merugikan salah satu pihak.

2.      Mudarabah (bagi hasil)
Mudarabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (sahibul mal) menyediakan seluruh (100 %) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudarabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian si pengelola, si pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.
1.      Dasar Hukum
Secara umum landasan dasar syariah mudarabah lebih mencerminkan anjuran untuk melakukan usaha. Hal ini tampak dalam ayat dan hadis berikut ini. Allah berfirman dalam surat al-Muzammil yang artinya : “… dan dari orang-orang yang berjalan dimuka bumi mencari sebagian karunia Allah SWT…” (Al Muzammil : 20)
Hadis nabi Muhammad yang artinya : “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Abbas bin Abdul Muthalib jika memberikan dana ke mitra usahanya secara mudarabah mensyaratkan agar dananya tidak dibawa mengarungi lautan, menuruni lembah yang berbahaya, atau membeli ternak. Jika menyalahi peraturan tersebut, maka yang bersangkutan bertanggung jawab atas dana tersebut. Disampaikan syarat syarat tersebut kepada rasulullah SAW. Dan rasulullah pun membolehkannya.”(HR Tabrani).

2.      Jenis-jenis mudarabah
Secara umum, mudarabah terbagi menjadi dua jenis yakni mudarabah mutlaqah dan mudarabah muqayyadah.

a.    Mudarabah mutlaqah
Mudarabah mutlaqah adalah bentuk kerjasama antara pemilik modal (sahibul mal) dan pengelola (mudarib) yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis. Dalam pembahasan fikih ulama salafus saleh seringkali dicontohkan dengan ungkapan if’al ma syi’ta (lakukan sesukamu) dari sahibul mal ke mudarib yang memberi kekuasaan sangat besar.
b.   Mudarabah Muqayyadah
Mudarabah muqayyadah adalah kebalikan dari mudarabah mutlaqah. Si Mudarib dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu, atau tempat usaha. Adanya pembatasan ini seringkali mencerminkan kecenderungan umum si Sahibul Mal dalam memasuki jenis dunia usaha.

3.      Syirkah
Secara etimologis syarikah berarti ikhtilath (percampuran), yakni bercampurnya satu harta dengan harta yang lain, sehingga tidak bisa dibedakan antara keduanya. Selanjutnya, kata syirkah itu digunakan oleh ummat Islam untuk sebuah transaksi perkongsian dalam dunia bisnis.
defisini Hanafiyah, karena secara eksplisit ia menjelaskan hakikat syirkah itu sebagai akad kerjasama bisnis antara dua pihak di mana masing-masing pihak memberikan konstribusi modal, dan keuntungan dibagi sesuai dengan kesepakatan.

Landasan Syari’ah
Dasar syari’ah konsep syirkah terdapat dalam Alquran, Sunnah dan Ijma’.
فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الثُّلُث ِ
”Maka mereka bersyarikat pada sepertiga” (QS. An-Nisak :12)


وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْخُلَطَاءِ لَيَبْغِي بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ إِلَّا الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ
”Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang bersyarikat itu, sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain kecuali orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih (QS.Shad : 24)

Jenis-Jenis Syirkah
Syirkah ada dua macam :
1.      Syirkah Amlak ; yaitu dua orang atau lebih memiliki benda/harta, yang bukan disebabkan akad syirkah. Perkongsian pemilikan ini tercipta karena warisan, wasiat, membeli bersama, diberi bersama, atau kondisi lainnya yang berakibat pemilikan satu asset oleh dua orang atau lebih. Syarikah Amlak ini terbagi lagi kepada dua macam :
a)      Syarikah ikhtiyar, yaitu syarikah yang terjadi oleh perbuatan dua orang yang bekerjasama, seperti manakala keduanya membeli, diberi atau diwasiati lalu keduanya menerima, sehingga sesuatu tersebut menjadi hak milik bersama bagi keduanya.
b)      Syirkah jabar, yaitu syirkah yang terjadi bukan oleh perbuatan dua pihak atau lebih sebagaimana syirkah ikhtiyar di atas, tetapi mereka memilikinya secara otomatis, terpaksa dan tidak bisa mengelak (jabari), seperti dua orang yang mewarisi sesuatu, sehingga kedua orang tersebut sama-sama mempunyai hak atas harta warisan tersebut

2.      Syirkah ’Ukud, yaitu transaksi yang dilakukan oleh dua orang atau lebih untuk berserikat dalam permodalan dan keuntungan. Dalam syarikah ukud tidak terdapat karakterrstik jabari. Karena itu, semua syirkah ukud bersifat ikhtiari, sehingga perundang-undangan (positif di Mesir) menyebutnya sebagai syarikah ikhtiyariyah.

Rukun dan Syarat Syirkah
Menurut jumhur ulama rukun syirkah ada tiga macam :
1.      Pihak yang berkontrak (’aqidani)
2.      Obyek kesekapatan (ma’qud ’alaih)
3.      Sighat (ijab dan qabul)
syarat-syarat syirkah
1.      Pihak yang berkontrak
Disyaratkan bahwa mitra harus kompeten (cakap secara hukum) dalam bertransaksi dan tentunya berkompeten dalam memberikan atau menerima kekuasaan perwakilan.
2.      Obyek kesepakatan (ma’qud ’alaih)
Obyek kesekapatan dalam syirkah ini ada dua unsur, yaitu dana (modal) dan kerja. Dana (modal) yang diberikan harus uang tunai. Tapi sebagian ulama yang lain memberikan kemungkinan bila modal berwujud asset perdagangan, seperti barang-barang, properti, dsb. Bahkan bisa dalam bentuk hak yang non fisik, seperti lisensi dan hak paten. Bila itu dilakukan, seluruh modal tersebut harus dinilai lebih dahulu secara tunai dan disepakati para mitranya. Partisipasi dan campur tangan para mitra dalam bisnis musyarakah adalah hal mendasar. Tidak dibenarkan bila salah satu pihak menyatakan tak ikut serta menangani pekerjaan dalam syirkah tersebut. Kalaupun tidak ingin terlibat langsung, ia harus mewakilkannya pada partnernya itu.
3.      Ucapan
Tidak ada bentuk khusus dari kontrak syirkah. Redaksi akadnya dapat berbentuk ucapan (verbal) atau tertulis yang menunjukkan perjanjian dan kesepakatan melakukan perkongsian bisnis. Kontrak syirkah ini harus dicatat secara dokumental.

Hukum-hukum yang berkaiatan dengan syirkah
1.      Hukum tentang keuntungan
a.       Keuntungan yang diperoleh dari hasil usaha harus diketahui dengan jelas jumlahnya secara kuantitatif. Hal ini dimaksudkan untuk mempertegas dasar berkontrak syirkah agar tidak mengarah kepada perselisihan pada waktu alokasi keuntungan atau penghentian kontrak syirkah. Masing-masing partnet harus mengetahui jumlah saham dan proporsi (nisbah) keuntungan, misalnya 20 %, 50 % dan sebagainya.


b.      Pembagian keuntungan harus proporsional sesuai dengan jumlah modal masing-masing pihak. Dengan demikian, seorang mitra yang menyetor modal 1000 dinar, berbeda bagian keuntungannya dengan mitra yang menyetor 500 dinar. Maka pembagian keuntungan harus didasarkan pada nisbah.

c.       Seorang mitra tidak dibenarkan menentukan bagian keuntungannnya sendiri pada awal kontrak, karena hal itu mereduksi dasar dan filosofi syirkah serta melanggar prinsip keadilan.

2.      Hukum tentang Kerugian
Para ulama sepakat bahwa kerugian harus dibagi di antara para mitra secara proporsional terhadap saham masing-masing dalam modal. Pendapat ini karena didasarkan pada ucapan Ali bin Abi Thalib di atas. Dalam hal musyarakah yang berkelanjutan atau jangka panjang, dibolehkan untuk menunda alokasi kerugian supaya bisa dikompensasi dengan keuntungan pada masa-masa berikutnya.


D.    PERBANKAN YANG SESUAI DENGAN PRINSIP HUKUM ISLAM
            Lahirnya ekonomi Islam di zaman modern ini cukup unik dalam sejarah perkembangan ekonomi. Ekonomi Islam berbeda dengan ekonomi-ekonomi yang lain karena lahir atau berasal dari ajaran Islam yang mengharamkan riba dan menganjurkan sedekah. Kesadaran tentang larangan riba telah menimbulkan gagasan pembentukan suatu bank Islam pada dasawarsa kedua abad ke-20 diantaranya melalui pendirian institusi sebagai berikut.
·         Bank Pedesaan (Rural Bank) dan Bank Mir-Ghammar di Mesir tahun 1963 atas prakarsa seorang cendikiawan Mesir DR. Ahmad An Najjar
·         Dubai Islamic Bank (1973) di kawasan negara-negara Emirat Arab
·         Islamic Development Bank (1975) diSaudi Arabia
·         Faisal Islamic Bank (1977) di Mesir
·         Kuwait House of Finance di Kuwait (1977)
·         Jordan Islamic Bank di Yordania (1978)
Bank non Islam yang disebut juga bank konvensional adalah sebuah lembaga keuangan yang fungsi utamanya menghimpun dana untuk disalurkan kepada yang memerlukan dana, baik perorangan atau badan usaha guna investasi dalam usaha-usaha yang produktif dan lain-lain dengan sistem bunga.
Sedangkan Bank Islam yang dikenal dengan Bank Syariah adalah sebuah lembaga keuangan yang menjalankan operasinya menurut hukum (syariat) Islam dan tidak memakai sistem bunga karena bunga dianggap riba yang diharamkan oleh Islam. (QS Al Baqarah : 275-279)
Sebagai pengganti sistem bunga, Bank Islam menggunakan berbagai cara yang bersih dari unsur riba, antara lain sebagai berikut.
·         Wadiah atau titipan uang, barang, dan surat berharga atau deposito. Wadiah ini bisa diterapkan oleh Bank Islam dalam operasinya untuk menghimpun dana dari masyarakat, dengan cara menerima deposito berupa uang, barang, dan surat-surat berharga sebagai amanat yang wajib dijaga keselamatannya oleh Bank Islam. Bank berhak menggunakan dana yang didepositokan itu tanpa harus membayar imbalannya, tetapi Bank harus menjamin dapat mengembalikan dana itupada waktu pemiliknya (depositor) memerlukannya.

·         Mudarabah adalah kerjasama antara pemilik modal dengan pelaksana atas dasar perjanjianprofit and loss sharing. Dengan mudarabah ini, Bank Islam dapat memberikan tambahan modal kepada pengusaha untuk perusahaannya dengan perjanjian bagi hasil dan rugi yang perbandingannya sesuai dengan perjanjian misalnya, fifty-fifty. Dalam mudarabah ini, Bank tidak mencampuri manajemen perusahaan.

·         Syirkah (perseroan). Dibawah kerjasama syirkah ini, pihak Bank dan pihak pengusaha sama-sama mempunyai andil (saham) pada usaha patungan (joint ventura). Oleh karena itu, kedua belah pihak berpartisipasi mengelola usaha patungan ini dengan menanggung untung rugi bersama atas dasar perjanjian profit and loss sharing (PLS Agreement).

·         Murabahah adalah jual beli barang dengan tambahan harga atau cost plus atas dasar harga pembelian yang pertama secara jujur. Dengan murabahah ini, pada hakikatnya suatu pihak ingin mengubah bentuk bisnisnya dari kegiatan pinjam meminjam menjadi transaksi jual beli. Dengan sistem murabahah ini, Bank bisa membelikan atau menyediakan barang barangyang diperlukan oleh pengusaha untuk dijual lagi, dan Bank minta tambahan harga atas harga pembeliannya. Syarat bisnis dengan murabahah ini, ialah si pemilik barang (dalam hal ini Bank) harus memberi informasi yang sebenarnya kepada pembeli tentang harga pembeliannya dan keuntungan bersih (profit margin) dari pada cost plus nya itu.


·         Qard hasan (pinjaman yang baik atau benevolent loan). Bank Islam dapat memberikan pinjaman tanpa bunga (benevolent loan) kepada para nasabah yang baik, terutama nasabah yang mempunyai deposito di Bank Islam itu sebagai slah satu pelayanan dan penghargaan Bank kepada para deposan karena mereka tidak menerima bunga atas depositonya dari Bank Islam.
Perkembangan pesat Bank-Bank Islam yang lazim disebut Bank syariah terjadi pada dasawarsa 70-an setelah terjadinya krisis minyak yang menimbulkan oil boom pada tahun 1971. perkembangan pesat Bank syariah tersebut membuktikan bahwa: (1) ajaran Islam menggerakkan ide sosial ekonomi. Ide spirit yang bersumber pada ajaran Islam disebut juga modal masyarakat (Social Capital). (2) Peranan cendikiawan yang memiliki suatu konsep yang mengoperasionalkan ajaran agama yaitu zakat, infak, sedekah (ZIS), dan larangan riba. ZIS dapat dijadikan modal Bank, hal ini juga pernah dipelopori oleh pemikiran dari KH. Ahmad Dahlan. Beliau memiliki gagasan membentuk lembaga amil (penghimpun dan pengelola zakat).
Bank syariah pertama yang beroperasi di Indonesia adalah PT. Bank Muamalat Indonesia (BMI) berdiri pada tanggal 1 mei 1992. Perkembangan perbankan syariah pada awalnya berjalan lebih lambat dibanding dengan Bank konvensional. Sampai dengan tahun 1998 hanya terdapat 1 Bank Umum Syariah dan 78 BPRS (Bank Perkreditan Rakyat Syariah). Berdasarkan statistik perbankan syariah mei 2003 dari Bank Indonesia tercatat, Bank Umum Syariah 2 yaitu BMI dan Bank Syariah Mandiri, 8 Bank umum yang membuka unit atau kantor cabang syariah yaitu Danamon Syariah, Jabar Syariah, Bukopin Syariah, BII Syariah dll, serta 89 Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS). Beberapa bank konvensional dalam negeri, maupun asing yang beroperasi di Indonesia juga telah mengajukan izin dan menyiapkan diri untuk segera beroperasi menjadi Bank Syariah.
Kehadiran Bank Syariah memiliki hikmah yang cukup besar, diantaranya sebagai berikut.
1.   Umat Islam yang berpendirian bahwa bunga Bank konvensional adalah riba, maka Bank Syariah menjadi alternatif untuk menyimpan uangnya, baik dengan cara deposito, bagi hasil maupun yang lainnya
2.   Untuk menyelamatkan umat Islam dari praktik bunga yang mengandung unsur pemerasan (eksploitasi) dari si kaya terhadap si miskin atau orang yang kuat ekonominya terhadap yang lemah ekonominya.
3.   Untuk menyelamatkan ketergantungan umat Islam terhadap Bank non Islam yang menyebabkan umat Islam berada dibawah kekuasaan Bank sehingga umat Islam belum bisa menerapkan ajaran agamanya dalam kehidupan pribadi dan masyarakat, terutama dalam kegiatan bsinis dan perekonomiannya
Bank Islam dapat mengelola zakat di negara yang pemerintahannya belum mengelola zakat secara langsung. Bank juga dapat menggunakan sebagian zakat yang terkumpul untuk proyek-proyek yang produktif dan hasilnya untuk kepentingan agama dan umum.
Bank Islam juga boleh memungut dan menerima pembayaran untuk hal-hal berikut.
·         Mengganti biaya-biaya yang langsung dikeluarkan oleh Bank dalam melaksanakan pekerjaan untuk kepentingan nasabah, misalnya biaya telegram, telepon, atau telex dalam memindahkan atau memberitahukan rekening nasabah, dan sebagainya
·         Membayar gaji para karyawan Bank yang melakukan pekerjaan untuk kepentingan nasabah dan sebagai sarana dan prasarana yang disediakan oleh Bank dan biaya administrasi pada umumnya.

Perilaku yang Mencerminkan Kepatuhan Terhadap Hukum Islam tetang Kerjasama
a.      Ekonomi
Ekonomi Islam di Indonesia hingga saat ini mengalami perkembangan yang signifikan. Hal ini ditandai dengan maraknya kajian-kajian ekonomi Syariah, banyaknya lembaga keuangan yang berorientasi Syariah serta semakin tingginya kesadaran masyarakat Indonesia dalam menerapkan kerjasama ekonomi berdasarkan Syariah. Ada beberapa aspek perilaku yang harus mencerminkan kepatuhan terhadap hukum Islam di segala aspek kehidupan, khusunya tentang kerja sama ekonomi Islam yaitu sebagai berikut.
1.      Tanggung Jawab
Dalam melaksanakan akad tanggung jawab yang berkaitan dengan kepercayaan yang diberikan kepada pihak yang dianggap memenuhi syarat untung memegang kepercayaan secara penuh dengan pihak yang masih perlu memenuhi kewajiban sebagai penjamin (damin) harus dipertimbangkan.
2.      Tolong Menolong
Saling menolong sesama peserta (nasabah) dengan hanya berhadapan keridaan Allah. Dan tolong menolong untuk memberikan santunan perlindungan atas musibah yang akan datang.
3.      Saling melindungi
Perekonomian Islam yang berdasarkan Syariah merupakan usaha saling melindungi dan tolong menolong diantara sejumlah orang atau pihak melalui investasi.
b.      Adil
Dalam melakukan transaksi/ perniagaan, Islam mengharuskan untuk berbuat adil tanpa memandang bulu, termasuk kepada pihak yang tidak disukai.

c.       Amanah/jujur
Dalam menjalankan kerja sama ekonomi Syariah mengharuskan dipenuhinya semua ikatan yang telah disepakati. Perubahan ikatan akibat perubahan kondisi harus dilaksanakan secara rida sama rida dan disepakati oleh semua pihak yang terkait.
Perilaku lain adalah mempunyai manajemen islami, menghormati hak azazi manusia, menjaga lingkungan hidup, melaksanakan good corporate governance, tidak spekulatif dan memegang teguh prinsip kehati-hatian.




E.     MUSAQAH, MUZARAAH, DAN MUKHARABAH

a.       Musaqah (paroan kebun)
Yang dimaksud musaqah adalah bentuk kerja sama dimana orang yang mempunyai kebun memberikan kebunnya kepada orang lain (petani) agar dipelihara dan penghasilan yang didapat dari kebun itu dibagi berdua menurut perjanjian sewaktu akad
Musaqah dibolehkan oleh agama karena banyak orang yang membutuhkannya. Ada orang yang mempunyai kebun, tapi dia tidak dapat memeliharanya. Sebaliknya, ada orang yang tidak mempunyai kebun, tapi terampil bekerja. Musaqah memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak yakni pemilik kebun dan pengelola sehingga sama-sama memperoleh hasil dari kerja sama tersebut. Hadis menjelaskan sebagai berikut yang artinya : “Dari Ibnu Umar: Sesungguhnya nabi Muhammad SAW telah memberikan kebun beliau kepada penduduk khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian, mereka akan diberi sebagian dari penghasilannya, baik dari buah-buahan atau hasil petani (palawija).” (HR Muslim)
b.      Muzaraah
Muzaraah adalah kerjasama dalam pertanian berupa paroan sawah atau ladang seperdua atau sepertiga atau lebih atau kurang, sedangkan benih(bibit tanaman)nya dari pekerja (petani). Zakat hasil paroan ini diwajibkan atas orang yang punya benih. Oleh karena itu, pada muzaraah zakat wajib atas petani yang bekerja karena pada hakekatnya dialah (si petani) yang bertanam, yang mempunyai tanah seolah-olah mengambil sewa tanahnya, sedangkan pengantar dari sewaan tidak wajib mengeluarkan zakatnya.
c.       Mukhabarah
Mukhabarah kerjasama dalam pertanian berupa paroan sawah atau ladang seperdua atau sepertiga atau lebih atau kurang, sedangkan benihnya dari pemilik sawah/ladang. Adapun pada mukhabarah, zakat diwajibkan atas yang punya tanah karena pada hakekatnya dialah yang bertanam, sedangkan petani hanya mengambil upah bekerja. Penghasilan yang didapat dari upah tidak wajib dibayar zakatnya. Kalau benih dari keduanya, zakat wajib atas keduanya yang diambil dari jumlah pendapatan sebelum dibagi. Hukum kerja sama tersebut diatas diperbolehkan sebagian besar para sahabat, tabi’in dan para imam.

0 komentar:

Posting Komentar

My Blog List

Pages

Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Popular Posts

Blogroll

The Alien

Blogger templates

Blogger news

Popular Posts